Berita Online - ungguh miris melihat patung buddha di Tanjung Balai yang sudah berdiri dari tahun 2006 dipaksakan diturunkan hanya karena adanya desakan dari ormas tertentu. Hal ini dikaitkan karena adanya ormas yang tidak senang dengan permasalahan komentar seorang wanita tentang toak mesjid yang terlalu keras.

SITUS RESMI JUDI ONLINE
Namun penurunan patung buddha ini terasa lebih menyakitkan bagi penganut agama buddha karena itu adalah simbol suci yang sangat di hormati mereka. Apakah ini bukan termasuk penistaan agama?
Wali Kota Tanjung Balai Sutrisno Hadi tega memerintahkan penurunan Patung Buddha Amitabha dari Vihara Tri Ratna di Tanjung dan telah melanggar HAM bagi penganut agama Buddha. Padahal Vihara Tri Ratna adalah bangunan lega yang sudah memiliki IMB dari Walikota dengan Nomer 648/237/K/2006. Selain itu Direktur Pelaksana Aliansi Sumut Bersatu Veryanto Sitohang menuturkan bahwa terdapat surat dari Yayasan Vihara Tri Ratna Tanggal 12 Juni 2010 No. 05/YVTR-VI/2010 dan dari Pengurus Daerah Majelis Budhayana Indonesia Tanggal 16 Juni 2010 No. 085/MDI-Sumut/VI/2010 yang di kirimkan kepada Dirjen Bimbingan Massal Umat Buddha yang menjadi bukti banyak masyarakat yang beragama Buddha yang sangat kecewa dan keberatan dengan keputusan Walikota Tanjung Balai tersebut.
AGEN POKER UANG ASLI
Bukan hanya masyarakat yang beragama Buddha yang menolak perintah tersebut:

Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Syafii Maarif.mengatakan bahwa harusnya Walikota mempertimbangkan dulu keputusannya ini. Syafii Maarif menambahkan jangan hanya ada desakan dari ormas tertentu untuk menurunkan patung Buddha tersebut tidak bisa dijadikan pembenar bagi lahirnya keputusan yang menggoncangkan sendi-sendi pluralisme itu.
AGEN DOMINO UANG ASLI
“Menurunkan secara paksa sebuah simbol suci yang sangat dihormati oleh pemeluk Buddha jelas sangat melukai,” ujar Direktur Eksekutif Maarif Institute Fajar Riza Ul Haq sangat menyesalkan keputusan Walikota Tanjung Balai.
POKER ONLINE UANG ASLI

DOMINO ONLINE UANG ASLI
“Ini bukan persoalan mayoritas dan minoritas. Tapi persoalan bagaimana kita menghormati sebuah simbol sakral agama sebagaimana kita menjaga kehormatan agama kita sendiri.” pungkas Fajar Riza Ul Haq.
No comments:
Post a Comment